If you don’t stand for something you’ll fall for anything. (Malcolm X)
Maka kita harus memilih, karena ketika kita memutuskan untuk tidak memilih, sejatinya kita telah memilih sesuatu yang tidak ada dalam daftar pilihan yang harus kita pilih, kita memilih untuk tidak memilih. Bukankah hidup adalah pilihan kawan? Jadi, tentukanlah pilihanmu.
Kira kira gitu pengantar tulisan ini. Sebuah kegalauan seorang mahasiswa. Mau nikah dulu, atau lulus kuliah dulu ya?
Saya yakin, mahasiswa yang berada di jalan yang benar, pasti akan merasakan dilema ini. Kegalauan ini biasanya menjangkiti mahasiswa (dan mahasiswa) tingkat tengah sampai tingkat akhir, sekitar semester 4 sampai semester akhir, itu normalnya. Ada beberapa bahkan sudah merasakan yang demikian sejak semester 2. Menurut saya, ini wajar, sebagai mahasiswa (dan mahasiswi). Justru yang tidak wajar (masih menurut saya) adalah mahasiswa yang tidak merasakan kegalauan ini. Biasanya, mahasiswa yang tidak merasakan kegalauan ini adalah mereka yang (terlalu atau sok) serius kuliah, sehingga perjalanan hidupnya sebagai mahasiswa linier saja.
Lulus SMA, cari kampus favorit, ketika jadi mahasiswa, segera cepet lulus, biar segera bisa ngelamar kerja, terus kumpulin duit yang banyak, abis itu baru mikirin nikah, (belum nikah lo, baru “mikirin” aja). Apa ini salah? Ya mungkin bener sih, tapi buat saya, yang demikian adalah jalan hidup (sebagai mahasiswa -dan mahasiswi-) yang salah. (Masih menurut saya sob).
Sedikit Lebih Maju
Orang yang dihadapkan pada pilihan menikah atau lulus kuliah dulu, mereka cenderung punya pikiran yang lebih maju ketimbang yang ga’ memikirkannya. Saya sangat mengerti, pilihan ini sangat tidak mudah untuk dipilih, tetapi harus dipilih. Disinilah terjadi dialegtika (read: perdebatan sengit) dalam diri kita. Nikah, atau lulus kuliah dulu?. Kegalauan seperti inilah (jika ditangani dengan benar) akan membuat kita semakin matang dan dewasa. Apapun pilihannya, kegalauan ini akan membuat kita untuk segera menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahan, saya yakin itu. Kematangan emosi, kemandirian finansial, modal nikah, kesiapan psikologis, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pernikahan. Sampai dititik inilah, dengan sendirinya, kita akan semakin dewasa, akan semakin matang. Jadi, kita lebih maju, lebih maju secara pemikiran, lebih maju secara sikap dan lebih maju secara kesiapan. Seharusnya begitu.
Lalu, Mau Nikah Dulu Nih?
Enggak masalah kalau mau nikah dulu sebelum lulus kuliah. Banyak teman saya (dan yang belum jadi teman) yang memilih nikah dulu sebelum lulus kuliah. Dari mereka yang memilih jalan ini, sangat jarang yang mengalami kegagalan, bahkan saya belum menemukan yang masuk kategori “gagal”. (semoga saja tidak, aamiin..)
Tentu semua harus diperhitungkan dan dipikirkan secara mendalam. Hasil pemikiran saya beberapa tahun yang lalu, secara matematis, menikah saat kuliah bisa menghemat, ngekos bisa bareng, berangkat dan pulang bisa boncengan (walau naik sepeda onthel), makan bisa lebih murah, apa lagi jika se-jurusan, dan lebih lagi jika se-kelas. Jika dibandingkan dengan 2 orang yang hidup sendiri-sendiri, pasti lebih hemat jika 2 orang yang hidup bersama. Itu secara matematis, dan tentu se-kampus ma si doi. Oh ya, belum lagi bisa saling menyemangati, ngerjain tugas bareng, dan lain lainlah pokoknya. Tapi saya tidak memilih jalan ini, takdir Allah, dan kenikmatan dari Allah, saya lahir seadanya, jadi tidak ada yang mau…(hiks hiks hiks,,)
Mau nikah dulu? Saya menaruh hormat untuk kawan-kawan yang memilih jalan ini. yang penting harus dipikirkan secara mendalam dan matang. Jangan lupa komunikasikan dengan orang tua, terutama ibu kita tercinta.
Memilih Pilihan
Tak jarang, kita “terjebak” dalam kotak pilihan yang begitu sempit. Biasanya yang demikian karena kita tidak punya power, tidak punya kekuatan sehingga kita tidak mampu menghadirkan alternatif pilihan yang lain.
Seperti judul tulisan ini, kita dihadapkan pada dua pilihan. Pertama : “Nikah dulu (sebelum lulus kuliah)”, atau pilihan yang kedua : ” Lulus kuliah dulu (baru nikah)”. Padahal kita bisa keluar dari kotak pilihan dan menghadirkan alternatif pilihan yang lain. “Out Of The Box” istilah ndesonya. Ya, kita bisa menghadirkan pilihan-pilihan yang lain.
Dalam kasus ini misalnya, saya lebih memilih untuk tidak memilih kedua-duanya. Ini bukan ujian sekolah Mas, kita tidak sedang mengerjakan soal pilihan ganda Neng. Ini kehidupan kita, kita lah yang menentukan pilihan, orang lain, siapapun dia, faktor pendukung, bukan faktor utama. Kitalah pemeran utama dalam kehidupan kita, yang lain? pemeran pembantu dalam panggung kehidupan kita. Maka seharusnya kita punya kuasa untuk menghadirkan alternatif-alternatif pilihan dalam kehidupan kita.
Namun demikian, meskipun semua “terserah” kita, tak elok jika kita berlaku semena mena. Setiap pilihan ada resikonya, ada konsekuensinya, dan tentu akan melibatkan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang terpenting, setelah kita memilih sesuatu, kita harus mau menanggung resikonya, siap menerima akibatnya, dan kudu bertanggung jawab.
Ketika kita memilih api ketimbang air, ya jangan nangis kalau kita terbakar api tersebut, kita harus menerima resiko tersebut. Jangan kabur juga ketika api tersebut membakar rumah satu desa, kita harus tanggung jawab.
Jadi, tentukan pilihanmu kawan, kalau dari daftar pilihan yang ada masih kurang sreg, hadirkan alternatif-alternatif pilihan lainnya. Setelah itu, ya kudu mau tanggung resikonya dan siap bertanggung jawab.