Wah, ngomongin tentang cinta. Akhwat?!Jatuh cinta?! Emang bisa?!
Woi, woi, akhwat juga manusia, akhwat juga bisa jatuh cinta, seakhwatnya akhwat juga punya rasa cinta, benci, suka, dll.
Nih, salah satu contoh percakapan dua orang akhwat:
Nayla: “ras, mau nanya donk!”
Laras: “nanya apa?!“
Nayla: “tapi, kamu jawab yang jujur ya!”
Laras: “iya, emang apa?”
Nayla: “kamu pernah jatuh cinta ga?”
Laras
terdiam cukup lama. Sambil berjalan di gang yang tak begitu lebar,
Laras menanyakan pada dirinya sendiri: ”Pernahkah aku jatuh cinta?”
Nayla yang berjalan di depan Laras memperlambat langkah agar mereka bisa berjalan sejajar dan Nayla menunggu jawaban dari Laras.
Laras: “iya, pasti-lah pernah!” (bohong, jika ada yang mengatakan tidak pernah jatuh cinta, pikir Laras)
Nayla:
“sama ikhwan?! Baru-baru ini?! (Nayla hanya memastikan bahwa sahabatnya
itu pernah jatuh cinta dengan ikhwan; akhwat jatuh cinta sama ikhwan!)
Laras:
“emmm, mungkin lebih tepatnya kagum! Ya, kagum! Hanya sebatas itu.”
(Laras mengoreksi jawabannya. Laras pikir selama ini rasa itu hanya
sebatas rasa kagum, gak lebih)
Nayla: “yup! Lebih tepatnya kagum! Aku kira orang kayak kamu gak bisa jatuh cinta!”
Laras: “loh, kenapa kamu mikir kayak gitu?!”
Nayla:
“ya, akhwat kayak kamu itu kayaknya gak mungkin punya perasaan apa-apa
sama ikhwan, gak mungkin jatuh cinta. Kamu itu kalem, pendiem, berwibawa
banget. Ya gak mungkin-lah.”
Laras: “Tapi, nyatanya, aku bisa kagum juga kan sama ikhwan?! Itu mah fitrah kali!”
Yup!
Yang namanya kagum, apalagi kagum antar lawan jenis, hal itu mah
wajar-wajar aja. Yang gak wajar itu, kalo rasa kagum yang ada pada diri
kita malah membuat kita melakukan hal-hal yang gak sepantasnya dilakukan
(apaan tuh?!), apalagi oleh ikhwan akhwat loh. Berat euy sandangan
ikhwan akhwat itu. Yang ada di pikiran kebanyakan orang nih, yang
namanya ikhwan akhwat itu gak nganut yang namanya pacaran. Ikhwan akhwat
lebih nganut system ta’aruf sebelum nikah. Gaya pacaran ikhwan akhwat,
ya setelah mereka nikah nanti.
Nih, bukti kalo orang umumnya udah nganggap ikhwan akhwat gak nganut system pacaran.
Di
sela-sela praktikum ada sebuah kelompok yang isinya perempuan semuanya
bahkan asisten laboratoriumnya (aslab) juga perempuan. Saat menunggu
campuran di refluks, yang namanya perempuan kalo lagi gak ada kerjaan
pasti ngobrol-ngobrol. Nah, di saat-saat menunggu itulah, terjadi sebuah
obrolan di antara kelompok itu bersama aslab-nya. Dan yang diomongin
sama perempuan ya gak jauh dari laki-laki. Mereka membicarakan tentang
pacar mereka satu persatu. Di kelompok tersebut ada seorang akhwat. Nah,
ketika semuanya telah bergiliran menceritakan tentang pacarnya, tinggal
si akhwat inilah yang belum bercerita. Kemudian akhwat ini bertanya:
“Kok pada gak nanyain aku sih?”, dengan gaya sok lugunya.
Sang aslab-pun langsung spontan menjawab: “kalo kamu mah gak usah ditanyain, nanti juga tiba-tiba undangan nyampe di tanganku.”
Ya, itulah pandangan orang pada umumnya tentang ikhwan akhwat yang gak nganut system pacaran.
Lantas,
bagaimana sebenarnya kondisi interaksi ikhwan akhwat itu sendiri?!
Apakah seperti yang di duga kebanyakan orang pada umumnya?! Akankah
interaksi yang dilihat selama ini di luaran sama seperti yang aslinya?!
Banyak
orang yang memperhatikan bahwa ikhwan akhwat itu sangat menjaga dalam
berinteraksi. Namun terkadang, ikhwan akhwat juga bisa khilaf. Loh kok
khilaf?! Maksudnya apa?!
Ada
hal-hal yang terkadang sulit dilakukan ikhwan akhwat untuk menjaga
interaksi itu. Misalnya nih, pada saat praktikum, akan banyak
kemungkinan bagi ikhwan akhwat untuk bersentuhan. Eits, bersentuhan di
sini bukan karena di sengaja loh, tapi memang kondisi praktikum yang
membuatnya bisa seperti itu. Interaksi seperti ini mungkin masih bisa
diwajarkan jika memang tidak bisa dihindari lagi. Tapi kalo masih bisa
dihindari, ya di minimalisir.
Ada
lagi misalnya, ketika ikhwan akhwat berkecimpung di sebuah organisasi.
Entah itu organisasi seperti BEM atau Musholla sekalipun. Adakalanya
ketika berinteraksi di BEM misalnya, terkadang sulit untuk menundukkan
pandangan atau tidak bercanda secara berlebihan. Hal ini mungkin masih
bisa dimaklumi karena kondisinya yang cukup heterogen. Kalo kata
seseorang: “ya, jangan kaku-kaku amat!” Tapi, kalo kondisinya lebih
banyak orang yang paham akan batasan interaksi, apakah itu diwajarkan?!
Dijawab sendiri ya sama diri masing-masing.
Namun
akhirnya bukan pembenaran yang muncul dengan kondisi seperti itu.
Ikhwan akhwat tetap harus menjaga interaksi. Atau kalaupun akhirnya
memang tidak bisa dihindari untuk ‘mencair’, ya sudah lakukanlah
interaksi itu sewajarnya. Ikhwan akhwat aktivis da’wah biasanya punya
system pengentalan tersendiri. Tiap orang punya cara yang berbeda untuk
‘mengentalkan’ dirinya kembali.
Misalnya,
Rama, seorang aktivis BEM, yang setiap melakukan ‘pencairan’ dan dia
tersadar bahwa dirinya telah melakukan hal ‘pencairan’ tersebut, dia pun
langsung ke sebuah ruangan, shalat dua rakaat. Temannya, Beno, yang
melihat hal itu terus menerus heran. Kenapa heran?! Karena waktu itu
bukan termasuk waktu dhuha, lantas Rama itu shalat apa? Dengan rasa
penasaran Beno pun bertanya kepada Rama yang baru selesai shalat.
“Akhi,
ini kan bukan waktu dhuha, dan tempat ini juga bukan masjid, antum
shalat apa, dua rakaat? Dhuha bukan, tahiyatul masjid juga bukan.”
“Akhi,
sesungguhnya tadi kita telah melakukan ‘pencairan’, maka ana melakukan
pengentalan diri ana dengan shalat sunnah dua rakaat. Agar diri ini
tidak melakukan pembenaran atas apa yang barusan kita lakukan.”
Ya,
tiap orang punya mekanisme pengentalan tersendiri. Ibarat suatu fluida,
jika dia berada di tempat yang sempit atau berada di suatu pipa yang
diameternya kecil, maka untuk dapat melewati itu, dia perlu mengurangi
kekentalannya, sehingga fluida itupun dapat mengalir dengan lancar.
Namun jika memang fluida itu telah berada di pipa dengan diameter yang
lebih besar, maka kekentalannya perlu dikembalikan seperti semula agar
mengalirnya fluida itu tetap konstan seperti aliran sebelumnya.
Bahkan,
ikhwan akhwat yang berkecimpung di Musholla pun tak terlepas dari hal
ini. Kadang, walupun interaksi di batasi dengan hijab pandangan, hijab
hati belum tentu bisa di jamin. Ingat dulu yuk, firman Allah: “Dia
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang
kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui
segala isi hati” (QS 64:4).
Ingat!
Apa yang tersembunyi dalam hati kita, Allah juga akan mengetahuinya.
Bisa saja kelihatan dari luar, interaksi ikhwan akhwat biasa-biasa saja,
namun ternyata di balik hatinya atau di balik hijab itu ada ‘sesuatu’
yang aneh dengan interaksi itu. Ya, semoga kita bukan termasuk ke
dalamnya. Kalaupun sudah terlanjur berbuat seperti itu maka marilah kita
sama-sama mengazamkan dalam diri untuk menjaga interaksi itu.
Ada
kasus juga ikhwan yang curhat ke akhwat ataupun sebaliknya. Misalnya
saling menganggap saudara sehingga dalam berinteraksi ya layaknya
saudara kandung. Memang betul sih, bahwa persaudaraan yang dibangun ‘di
sini’ atas dasar keimanan bukan pertalian darah. Walaupun hanya
menjadikan tempat curhat dan gak lebih dari sekedar saudara, tapi
sebaiknya tetap berhati-hati karena masalah hati gak ada yang tau. Tetap
saja, itu bukan mahramnya kalaupun toh mau berakrab-akrab ria. Bisa aja
hari ini curhat-curhatan, eh besoknya mulai timbul ‘rasa’ yang berbeda.
Curhat berduaan akan menimbulkan kedekatan, lalu ikatan hati, kemudian
dapat menimbulkan permainan hati yang bisa menganggu da’wah. Apalagi
bila yang dicurhatkan tidak ada sangkut pautnya dengan da’wah. Atau bisa
saja si ikhwan menganggap si akhwat sebagai saudara biasa, tapi
ternyata si akhwat malah punya pandangan yang berbeda, begitupun
sebaliknya. Yang lebih parah lagi nih, kalo orang-orang yang belum paham
melihat hal itu, bisa-bisa mereka jadi illfeel sama ikhwan-akhwat. Atau
terkadang, orang yang sudah paham pun malah menanggap hal yang
nggak-nggak terjadi di antara interaksi itu, VMJ (Virus Merah Jambu),
padahal mah tuh ikhwan dan tuh akhwat gak punya perasaan apa-apa, cuma
sebatas saudara atau teman biasa. Mungkin ada benarnya juga kalo kita
sebaiknya menjaga interaksi dengan lawan jenis, gak hanya berlaku
terhadap ikhwan akhwat aja loh. Lebih baik menjaga bukan daripada
terjadi fitnah?! Kalo mau curhat, ya utamakan sesama jenis dulu.
Nah, ada satu cerita yang menarik di sini.
Ada
ikhwan, sebut saja Hendy yang curhat ke akhwat, sebut saja Mila,
melalui SMS. Mereka beraktivitas dalam satu organisasi dan keduanya bisa
di bilang aktivis da’wah.
Hendy:
“Assalamu’alaykum. Mila, ana merasa bersalah banget neh sama masalah
yang kemarin. Itu semua gara-gara ana. Ana tuh sampe gak bisa tidur
mikirin masalah itu. Bawaannya grasak-grusuk mlulu.”
Mila gak langsung membalas sms itu. Dia meng-sms Leo yang memang dekat dengan Hendy.
Mila: “Assalamu’alaykum. Leo, tolong hibur Hendy ya, kayaknya dia masih kepikiran sama masalah yang kemarin.”
Mila meminta Leo untuk menghibur Hendy karena Mila tau bahwa Leo adalah teman dekat Hendy dan Leo tau masalah yang Hendy hadapi.
Leo: “Masalah yang mana? Ana barusan mabit bareng Hendy, tapi dia ga cerita apa-apa.”
Mila: “Masalah yang itu bla, bla, bla.”
Mila menjelaskan masalahnya.
Leo: “Ok. Nanti ana coba ngomong ke Hendy.”
Memang
begitulah seharusnya ketika ada seorang ikhwan ataupun akhwat yang
curhat ke lawan jenisnya, maka tempat yang di curhatin itu seharusnya
mengarahkan seseorang, ke sesama jenis, yang merupakan teman dekatnya
sehingga si ikhwan ataupun akhwat bisa di tangani langsung tanpa lintas
gender. Hal itu lebih menjaga bukan?!
Ada
satu cerita lagi tentang ikhwan akhwat yang jarang sekali berinteraksi,
namun ternyata keduanya sepertinya ‘klop’. Mereka menyadari hal itu. Si
ikhwan punya perasaan sama akhwat, begitupun sebaliknya: masing-masing
saling tahu, tanpa harus di nyatakan. Waktu terus berjalan, mereka pun
saling memendam perasaan itu hingga akhir bangku perkuliahan usai.
Hingga akhirnya, ada yang mengkhitbah si akhwat. Si akhwat pun meminta
ijin kepada si ikhwan (aneh!): betapa sakit hati si ikhwan begitu
mengetahui si akhwat akan di khitbah ikhwan lain. Akhirnya, akhwat itu
pun tetap melangsungkan pernikahan dan membiarkan si ikhwan dalam
kesakithatiannya.
Duh, miris sekali ya. Padahal perasaan yang muncul di antara ikhwan akhwat itu tanpa interaksi yang intens.
Ok,
yang terpenting adalah kita saling menasehati dengan cara yang terbaik.
Kalau ikhwan yang melampaui batas kepada akhwat, akhwatnya harus tegas,
demikian pula sebaliknya. Sesama ikhwan dan sesama akhwat juga harus
ada yang saling mengingatkan dengan tegas. Ingat! tegas bukan berarti
harus marah-marah karena kita tentunya tahu bahwa tak ada manusia yang
sempurna di dunia ini. Semua manusia tak luput dari yang namanya khilaf.
Jika memang mengaku bahwa kita bersaudara, maka ingatkanlah! Tegurlah!
Jangan biarkan saudara kita terjerembab.
Terkait
dengan cinta, sekali lagi diingatkan bahwa akhwat juga bisa jatuh
cinta,, ikhwan juga bisa jatuh cinta. Se-ikhwah-ikhwahnya ikhwah, mereka
juga manusia yang punya rasa cinta, kagum, suka, dan benci.
Cinta bukanlah tujuan
Cinta adalah sarana untuk menggapai tujuan
Jangan kau sibuk mencari definisi dan makna cinta
Namun kau lalai terhadap Dzat yang menganugrahkan cinta
Dzat yang menumbuhsuburkan rasa cinta
Dzat yang memberikan kekuatan cinta
Dzat yang paling layak dicintai Allah, Sang Pemilik Cinta
Cinta memang tak kenal warna
Cinta tak kenal baik buruk
Cinta tak kenal rupa dan pertalian darah
Memang begitulah adanya
Karena yang mengenal baik buruk, warna dan rupa
Adalah sang pelaku cinta yang menggunakan akal pikirannya
Cinta bukanlah kata benda
Cinta adalah kata kerja
Cinta bukan sesuatu tanpa proses
Cinta itu butuh proses
Jangan mau kau terjatuh dalam cinta
Namun, bangunlah cinta itu
Bangunlah cinta dengan keimanan
Maka kau akan mengorbankan apa saja
Demi meraih keridhaan Sang Pemilik Cinta
Bangunlah cinta dengan ketakwaan
Maka kau tak kan gundah gulana
Ketika kehilangan cinta duniawi
Karna kau yakin Yang kau cari adalah cinta dan ridha Allah
Bukan cinta yang sementara
***
serambi madinah… 4 robiul akhir 1431 H 4:27 Pm
masih banyak yang tugas dakwah yang harus kita tuntaskan dari pada berbicara masalah #$%#@#@@……
Semoga
bermanfaat.Tulisan ini dibuat untuk mengingatkan diri sendiri yang
sering lalai dalam menjaga interaksi. Entah itu di dunia nyata maupun
dunia maya.
Saling mengingatkan ya!
Kata ikhwan akhwat dalam tulisan ini telah mengalami penyempitan makna, lebih ke arah aktivis da’wah.
sumber :
http://www.eramuslim.com/oase-iman/lhinblue-emang-akhwat-bisa-jatuh-cinta.htm
Share This Post =)